Succes Story

Succes Story

Henri Wirawan (11013039)

Fakultas Psikologi, Universitas Ahmad Dahlan

Psikologi Kewirausahaan

Eman Sulaeman : Bertarung Hadapi Putaran Roda Bisnis Keramik

Bertahun-tahun meraup keuntungan dari hasil bisnis. Kemudian, dalam sekejap mata, hasil jerih payah itu hilang begitu saja. Pebisnis sejati memandang keadaan itu adalah hal wajar. Roda usaha ibarat roda hidup, terkadang di atas dan di bawah.

Sulaeman, perajin dari Plered, Purwakarta, Jawa Barat, adalah satu dari sekian pengusaha yang pernah mengalami kondisi tersebut. Eman mengawali usahanya dengan modal dari orang tua. Lelaki kelahiran Purwakarta, 10 Maret 1969 ini memulai usaha kerajinan keramik pada 1993. Kakek, nenek, dan kedua orang tuanya sudah menggeluti kerajinan tanah liat sejak 1963.

Karenanya, tangan Eman terbiasa meliuk-liuk di antara tanah liat. Selanjutnya, tanah itu dia bentuk menjadi kerajinan gerabah seperti patung binatang, patung semar, dan celengan. Eman pun menjadi memahami seluk beluk menjalankan usaha kerajinan ini. Kepiawaian Eman mendalami usaha ini, menimbulkan rasa bosan. Usai memperoleh gelar S1 Pendidikan dari IKIP Bandung dengan jurusan Bahasa Sunda pada 1991, Eman mencoba usaha yang yang berbeda, yakni kerajinan keramik terakota dengan segmentasi pasar internasional. Sementara orang tuanya memilih kerajinan gerabah dengan pangsa pasar domestik.

Pangsa pasar internasional membutuhkan produk berkualitas tinggi. Maka, tak tanggung-tanggung, dia memilih bahan baku yang juga berkualitas tinggi. Untuk mendapatkannya, Eman memperoleh tanah liat dari pelumpur. Di tempat itu, tanah liat diolah sedemikian lembut. Beberapa orang menyebutnya tanah olahan ini adalah tanah lumpur.

“Tanah yang halus merupakan bahan baku untuk produk yang berstandar internasional. Sementara kedua orang tua saya membeli tanah liat di Ciketok dan menghaluskannya sendiri. Sehingga, masih tertinggal beberapa butiran kasar,” tuturnya.Selain pemilihan bahan baku, Eman juga terus mencari tahu warna dan corak yang lebih diminati konsumen asing, yakni warna gelap. Sementara pemilihan corak mengikuti tren pasar.

Hanya selang beberapa bulan, Eman bersama kedua temannya memperoleh pesanan guci dan vas ke Taiwan. Saat itu, Eman memperoleh pesanan hingga Rp5 juta. Pesanan terus berlanjut. Eman menjadi pemasok di sebuah pabrik kerajinan di Plered. Setiap bulannya dia memasok produk senilai Rp400 juta ke pabrik itu. Selanjutnya, pabrik itu memasok produknya ke Italia hingga Amerika Serikat. Hasil penjualannya, dia belikan mobil, mendirikan pabrik baru, dan menunaikan ibadah haji. Guci dan vas Eman dilego senilai Rp35 ribu hingga Rp250 ribu, dengan ukuran tinggi 15 sentimeter hingga 250 sentimeter dengan label Risman Wijaya Keramik.

Pada 2003 hingga 2006, penjualannya merosot tajam. Padahal, sudah sembilan tahun usaha itu dirintisnya. Eman tidak mengerti kenapa kondisi itu tiba–tiba terjadi. Dia gunakan strategi penjualan cuci gudang untuk menutupi kerugian.

Bapak dua anak ini menjual produknya ke pedagang yang biasa menjual barang reject. Pikirnya, semakin lama barang disimpan, barang akan semakin rusak. “Nggak apa-apa dijual murah, yang penting bisa balik modal dan menutup utang,“ ceritanya. Saat itu, sama sekali tidak terpikir usahanya akan bangkrut. Menurutnya, kemerosotan ini adalah teguran dari Yang Maha Kuasa. Dirinya disuruh melakukan introspeksi atau saat itu Tuhan belum memberinya rezeki.

“Bertahun-tahun menjalankan usaha, Saya dikasih rezeki banyak. Jika hanya tiga tahun, saya tidak diberi rezeki. Itu bukan tanda bahwa usaha akan bangkrut. Ini adalah proses wajar dalam suatu usaha. Yang penting keyakinan bahwa suatu saat usaha akan kembali seperti semula,” ujarnya.

Keyakinan Eman terbukti, usahanya telah kembali normal. Belajar dari pengalaman, Eman membanting setir dengan tidak mematok pangsa pasar internasional saja. Membidik pasar domestik seperti orang tuanya pun dilakoni.

Cobaan kembali menggulungnnya, dia berkali-kali gagal. Ternyata, membidik pangsa pasar di tanah air justru sulit. Karena kegagalan yang berulangkali, Eman sempat putus asa, dan berhenti bereksperimen. “Mungkin tidak berjodoh dengan produk lokal,” imbuhnya.

Meski Eman memiliki gelar sarjana pendidikan, namun dia tidak berniat mengaplikasikan gelarnya itu. Dia lebih senang berbisnis ketimbang mengajar. Apalagi, pada 1990, usaha kerajinan Plered tengah pesat. Salah satunya karena mantan wakil Presiden Indonesia Sudharmono dan mantan Perdana Menteri Malaysia Mahatir Mohammad berkunjung ke pusat kerajinan Plered.

Menurutnya kunjungan pejabat asing dan Indonesia secara langsung mempromosikan kerajinan Plered. Saat ini, promosi kerajinan Plered sangat kurang. Di beberapa pameran, para pengunjung sering becerita kepadanya bahwa mereka enggan ke Plered karena mereka tidak tahu ragam jenis kerajinan Plered. Kendati demikian, Eman tetap terus berusaha agar kerajinan Plered tetap bergigi. Dia meyakini usahanya akan kembali bangkit. Mungkin saat ini jari-jari roda tengah di bawah, tapi pasti suatu saat akan kembali berputar ke atas. (rhs) – Nuria –

Uraian mengapa saya memilih Kisah Sukses ini serta pelajaran yang dapat saya ambil  dari beliau :

Kisah Eman Sulaeman ini, merupakan sedikit pelajaran tentang kesuksesan. Apapun yang ada di dunia ini tidak ada yang abadi. Bertahun-tahun meraup keuntungan dari hasil bisnis. Kemudian, dalam sekejap mata, hasil jerih payah itu hilang begitu saja. Terkadang di atas dan di bawah, Roda usaha ibarat roda hidup.

Ada hal lain yang dapat kita ambil hikmah; Seperti kemerosotan penjualan Eman yang sempat dialaminya. Kendati demikian, Eman tetap terus berusaha agar kerajinan Plered tetap “bergigi”. Dia meyakini usahanya akan kembali bangkit. Mungkin saat ini jari-jari roda tengah di bawah, tapi pasti suatu saat akan kembali berputar ke atas. Keberanian Eman “membanting setir” dengan tidak mematok pangsa pasar internasional saja. Kemudian juga membidik pasar domestik seperti orang tuanya pun dilakoni, walaupun ternyata itu lebih sulit.

Keyakinannya itulah yang harus dimiliki setiap enterpreuner, bahwa usaha yang diiringi do’a adalah berkah. Semangat untuk terus berusaha meski berulang-ulang kali gagal, keberaniaannya untuk mengambil risiko dengan ‘banting setir’, lalu introspeksi diri kepada setiap yang telah kita perbuat merupakan jiwa kewirausahaan yang harus dimiliki.

Seperti yang ditekankan oleh Pak Gita bahwa untuk menjadi orang yang sukses kita perlu :

1.Kreatif

2.Inovatif

3. Suka tantangan

4. Menerima Risiko, dan

5. Menangkap Peluang

Standard